Rabu, 08 Oktober 2014

Sumber sumber hukum islam secara filsafat ( tugas kelompok II )

Filsafat Hukum Islam

Filsafat merupakan gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang berarti kebijaksanaan (philosophia=Yunani). Dengan demikian filsafat atau falsafat (falsafah=Arab) berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaan, sedangkan orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos atau failasuf (Arab) atau filosuf.
Filsafat, menurut D.C.Mulder, adalah pemikiran secara sistematik dan radikal tentang sesuatu objek. Objek yang menjadi sasaran pemikiran adalah segala hal yang ada, baik ada dalam alam kenyataan inderawi atau ada dalam konsep. Dengan demikian filsafat dapat mencakup segala hal yang dapat menjadi objek pemikiran. Filsafat berkembang menjadi berbagai macam sesuai dengan objek kajiannya, misalnya Filsafat Politik, Filsafat Pembangunan, Filsafat Hukum, dan Filsafat Ilmu. Dengan demikian Filsafat Hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematik, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang Hukum Islam.
Filsafat Hukum Islam pada dasarnya telah lahir sejak awal sejarah umat Islam, dengan adanya dorongan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul agar manusia lebih menggunakan pikirannya dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebih-lebih dalam persoalan yang fundamental, menyangkut ‘aqidah atau keyakinan agama, dalam surat Al-Isra’ (17:36) dan An-Nisa’ (4:82) disebutkan:
 yang artinya :

 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban”.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (memikirkan ajaran) Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an bukan berasal dari hadhirat Allah, niscaya mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya”.
Ayat Al-Qur’an tersebut dengan jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajaran Allah swt hendaknya dipergunakan akal pikiran, karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak Al-Qur’an dapat diyakinkan. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi kaum muslimin, dengan demikian objek dalam Filsafat Hukum Islam juga bermacam-macam yang menyangkut ketentuan-ketentuan hukum yang diatur dalam Al-Qur-an, misalnya menyangkut hukum waris, hukum perkawinan, dan hukum pidana, hukum perdata dan sebagainya.

Sumber hukum Islam itu sendiri tidak hanya Al-Qur’an, tetapi juga Sunnah Nabi. Sunnah Nabi merupakan sumber utama selain Al-Qur’an sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal yang menceritakan bahwa pada waktu Rasulullah saw. mengutus Mu’adz ke Yaman, terlebih dahulu beliau bertanya kepada Mu’adz: “Bagaimana kamu akan memutus perkara yang diajukan kepadamu?” Mu’adz menjawab: “Saya akan memutus dengan dasar Kitab Allah (Al-Qur’an)”. Rasul bertanya pula: “Jika dalam Kitab Allah tidak kau jumpai ketentuannya bagaimana?” Mu’adz menjawab: “Dengan Sunnah Rasulullah”. Rasul pun bertanya lagi: “Jika dalam Sunnah Rasulullah tidak kau jumpai juga ketentuannya bagaimana?” Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan akalku, dan saya tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan apapun”. Mendengar jawaban Mu’adz itu Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata: “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul Allah sesuai dengan yang melegakan hari Rasul Allah”.
Dengan demikian akal telah memperoleh tempat yang sangat penting dalam perkembangan hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan penggunaan akal inilah pada hakikatnya pemikiran kefilsafatan Hukum Islam. Ijtihad dalam hukum Islam telah dimulai sejak Rasul masih hidup walaupun belum jelas kelihatan, akan tetapi setelah beliau wafat bahkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab Filsafat Hukum Islam merupakan fenomena/metode yang pertama kali muncul dalam sejarah alam pikiran Islam, dan merupakan pemikiran yang orisinil Islami.
Ruang lingkup Filsafat Hukum Islam dalam kenyataannya berkembang tidak hanya menyangkut hal-hal yang tidak disebutkan dalam Nash (Al-Qur’an dan Sunnah Rasul), akan tetapi juga hal-hal yang disebutkan dalam Nash. Hal ini pada awalnya terjadi karena perbedaan pemahaman terhadap nash antara Umar bin Khattab dan Khalifah Abu Bakar tentang pembangkangan terhadap kewajiban membayar zakat.

Pertama, hal yang tidak disebutkan dalam Nash. Walaupun peluang untuk melakukan ijtihad sudah terbuka berdasarkan hadits Mu’adz tersebut di atas, akan tetapi praktik berfilsafat dalam memahami ajaran-ajaran Islam umumnya dan Hukum Islam khususnya, masih belum nampak jelas karena Nabi yang sekaligus Rasul masih hidup.

Kedua, hal yang disebutkan dalam Nash. Perkembangan ijtihad yang dilakukan terhadap hal yang disebutkan dalam Nash semakin meningkat dan banyak ketentuan-ketentuan hukum nash yang dipikirkan jiwa yang melatarbelakanginya (‘illat hukum atau kausa hukum). ‘Illat adalah hal yang oleh syari’ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar, tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. ‘Illat pada pokoknya terbagi menjadi tiga macam atas dasar sumber-sumber pangambilannya, yaitu: berdasarkan dalil naqli (terdiri dari tiga macam: sharih, ima’ dan petunjuk sebab), dengan ijma dan istinbath (pemahaman kepada nash).

Filsafat Hukum Islam yang bersumberkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan ruang lingkup baik hal-hal yang tidak disebutkan maupun yang disebutkan dalam nash, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dilakukan karena memerlukan pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, kualitas filosufnya yang tinggi, dan metode yang digunakan.

Perkembangan filsafat dalam hukum Islam tentunya tidak hanya terhenti pada para penafsir yang hidup di zaman dahulu, atau dianggap bahwa nash sudah cukup ditafsirkan pada saat itu saja, sehingga segala persoalan yang muncul pada saat ini maupun masa mendatang dapat atau akan dapat diselesaikan dengan produk-produk pemikiran manusia pada masa lampau.

Telah jelas diketahui dan disadari bahwa manusia dan masyarakat pasti berubah dan secara kontekstual memang setiap manusia atau masyarakat pasti mempunyai perbedaan. Dengan demikian tidak akan dapat berlaku hukum Islam yang sama di semua tempat, waktu dan keadaan. Untuk itu dibutuhkan hukum-hukum yang sesuai dengan konteks masyarakat yang ada agar persoalan-persoalan di dalamnya dapat diselesaikan.
Penyelesaian suatu persoalan dalam masyarakat, yang sesuai dengan konteks masyarakat itu, tidak boleh terlepas dari ketentuan hukum Allah sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an, karena Al-Qur’an bukan hanya sekedar cerita dari manusia ke manusia lain. Al Qur’an adalah petunjuk bagi manusia (hudan lil an-naas). Al Qur’an dituntut untuk dapat digunakan kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan bagaimana saja. Tantangannya tentu saja adalah metode apa yang cocok untuk menafsirkan Al-Qur’an sehingga dapat digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan di mana saja, kapan saja dan bagaimana saja, sesuai dengan keinginan pembuatnya (Allah SWT), sehingga kita tidak berlaku sebagai Tuhan.

Manusia “hanya”lah khalifah Allah (QS.2:30) sehingga dia harus mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan perintah atau keinginan Allah di bumi, dan agar fungsi kekhalifahan ini berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, Allah telah memberi rambu-rambu petunjuk. Rambu-rambu petunjuk tersebut adalah “kalimat” yang disebut Nurcholis Madjid (almarhum) adalah agama.

Konteks legislasi Al-Qur’an, kebanyakan Ulama beranggapan bahwa arti literal itu sendiri ditujukan sebagai pembimbing sekaligus penjaga manusia. Petunjuk melalui agama tersebut pada dasarnya untuk menjaga hak-hak manusia yang paling asasi (dlarury). Hanya dengan menjaga hak-hak dasar inilah fungsi kekhalifahan manusia akan terjaga. Misalnya hukuman mati untuk menjaga hak hidup, potong tangan untuk menjaga hak kepemilikan dan sebagainya.

Kontroversi yang muncul adalah pada perumusan “perantara” yang menghantarkan tujuan penciptaan manusia. Bagi para ulama literalis “perantara” itu sudah ditetapkan secara baku dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, karena tidak ada hak bagi manusia untuk mengubah ketentuan “perantara” yang tertulis secara pasti dan jelas (sarih dan qath’iy). Ulama lain yang lebih menitikberatkan pada pencapaian “tujuan”, sehingga “perantara” boleh berubah asalkan tujuan tercapai.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar